Minggu, 16 Oktober 2011

PADANG HALABAN, NARASI DAN PABRIK KELAPA SAWIT








Hutan Trembesi
Pagi itu, Senin 25 Oktober 2010, 08.30 WIB, bertepatan dengan hari ulang tahun mama saya, saya menjadwalkan untuk pergi ke Padang Halaban. Mungkin banyak yang tidak mengetahui dimana persisnya Padang Halaban itu, atau mungkin saya saja yang baru kali ini kesana dan baru mengetahui ada tempat yang bernama Padang Halaban. Padang Halaban adalah sebuah desa yang ada di Sumatera Utara, Kabupaten Labuhan Batu. 415 km jarak yang kami tempuh dari Medan-Padang Halaban dengan menggunakan kereta api Sribilangan Jurusan Medan-Rantau Parapat dan memakan waktu lima jam lamanya di atas kereta api yang sejuk nian. Hanya saja perjalanan kami sempat disertai tragedi drama Korea, teman kami bernama Romi datang telat ke stasiun gara-gara jalanan macet karena hujan, dan lima menit kereta hendak berangkat dia baru tiba di stasiun, parahnya lagi Romi tidak tahu dimana pintu masuk untuk penumpang hendak berangkat. Jadilah Romi terpaksa menunggu keberangkatan kereta berikutnya, namun Romi tidak sendiri karena ada Hanan dari LPM Suara USU merangkap panitia acara ini serta dua peserta lagi dari LPM Kreatif UNIMED. Begitulah tragedy yang mengawali perjalanan menjemput ilmu menulis narasi ke Padang Halaban.

Setelah lima jam perjalanan yang menyenangkan apalagi bagi teman saya yang baru pertama kali merasakan naik kereta api, kami pun tiba di stasiun Padang Halaban pukul 13.30 WIB,  setibanya kami di tanah yang sebagian perkebunannya di kuasai oleh PT. Smart tbk ini, rombongan langsung disambut dengan mobil yang akan mengantarkan kami ke mess. Selama perjalanan menuju mess, saya sungguh menikmati desa ini, ditambah lagi cuaca yang mendukung suasana yang lagi sendu, merona, nyiur melambai, hujan rintik-rintik masih belum selesai digelar rupanya. Sejak dari stasiun, rumah-rumah penduduk disekitaran sudah menarik mata, menunjukkan desa ini cukup hidup, tak berapa lama mobil memasuki kawasan bebas rumah penduduk, berupa kawasan yang kiri dan kanan ditumbuhi deretan pohon Trembesi yang batangnya besar dan menjulang serta daunnya yang lebat, serasa memasuki dunia lain, dunia yang mengantarkan ke negeri dongeng.  Saya sempat dilanda déjà vu seolah-olah saya pernah melewati daerah ini, suasananya mirip dengan suasana di lokasi syutingnya drama Korea Winter Sonata di Nami Island. Akhirnya setelah keluar dari hutan Trembesi, kami memasuki kawasan perkebunan Kelapa Sawit milik PT. Smart tbk, tepatnya di kawasan komplek rumah dinas atau mess perkebunan. Rumah bergaya Belanda menyambut kedatangan kami.

Bersama saya, Lulu, dan Romi menjadi delegasi dari LPM Dinamika IAIN SU untuk mengikuti “Workshop Menulis Narasi: Menguak Kata, Menguak Fakta”, rombongan para pendekar tinta itu tidak hanya dari LPM Dinamika saja, tapi juga dari LPM Suara USU selaku panitia dan mereka membawa pasukan berjumlah 11 orang, dari LPM STIK-P  tsebanyak 3 delegasi, dari LPM Kreatif UNIMED sebanyak 2 delegasi. Selama seminggu berturut-turut kami akan dikarantina dalam sebuah Mess milik PT. Smart tbk Kebun Padang Halaban.

sambil nunggu kereta api, poto dulu ah bareng pembicara keren Kk Chik n Mas Andreas

Hari pertama adalah hari dimana kami tiba di mess dan langsung memasuki kamar yang disediakan untuk beristirahat sejenak dan meletakkan barang bawaan kami. Acara pun dilanjutkan dengan perkenalan dari masing-masing delegasi. Hari seterusnya adalah hari yang menyenangkan dan penuh ilmu.

Senang rasanya bisa mengikuti even ini, karena bisa dibilang LPM Dinamika IAIN SU cukup beruntung bisa mengirimkan delegasinya ke ajang yang belum tentu ada sekali setahun, dan belum tentu bisa se-gratis ini—jika mengikuti workshop komersilnya, peserta dikenakan biaya Rp.3,5 juta, dan memang sejak awal panitia membuat persyaratan dan seleksi peserta yang ketat untuk dapat mengikuti workshop ini. Salahsatu persyaratannya adalah peserta diharuskan mengirim dua karya tulis terbaik sebagai bahan seleksi. Alhamdulillah saya dan teman-teman bisa lulus seleksi.

Eka Tjipta Foundation sendiri adalah sebuah lembaga filantropi di Jakarta yang didirikan oleh seorang pengusaha bernama Eka Tjipta Widjaja, salahsatu concern dari lembaga ini adalah dalam bidang pendidikan khususnya menulis narasi ini, dengan menggaet Andreas Harsono seorang penulis dan wartawan di majalah Pantau serta Chik Rini seorang penulis dan mantan wartawan di harian Analisa.

Tidak salah Eka Tjipta Foundation mendatangkan penulis dan wartawan sekaliber Mas Andreas dan Kak Chik, pasalnya materi-materi yang disajikan saat workshop full of information and inspiration diantaranya kami membahas ‘Dasar-dasar Jurnalisme, Pentingnya Riset dan Interview, Pencemaran Nama Baik, News Analysis, Struktur Karangan, Feature dan Piramida Terbalik, Struktur Karangan, dan materi penutup yang sangat dinanti-nantikan adalah Narasi, selain itu para peserta setiap malamnya dijadwalkan nonton bareng. Film yang ditonton adalah bukan film yang sedang booming sepanjang tahun 2010 ini tapi adalah film indie seperti The Black Road karya Willem Nessen—film soal perang Acheh melawan Indonesia, film-film yang diputar cukup membuka mata saya, bahwa pekerjaan wartawan itu tidak mudah, demi menyingkap tabir kebenaran, butuh riset mendalam dan butuh waktu jangka panjang, maka dari itu finalnya adalah menuliskan itu semua dengan menggunakan teks narasi, teks yang bukan sembarang teks, ada banyak gaya baru dalam penceritaannya. 

Waktu seminggu memang tidak cukup untuk melakoni workshop ini, ada di satu hari kami juga melakukan praktek wawancara ke lapangan. Saya dapat tugas mewawancarai seorang mandor kelapa sawit. Keunikan si Bapak ini adalah beliau sebagai mandor senior—30 tahun lebih jadi mandor yang punya tantangan memanen kelapa sawit yang tingginya mencapai 20 meter dan itu pekerjaan yang tidak mudah dan penuh risiko, bisa saja galahnya yang terlalu pendek hingga harus disambung-sambung dengan pipa fiber lagi. Setelah itu, hasil wawancara disajikan dalam bentuk hidangan tulisan deskripsi, saya pikir deskripsi yang selama ini saya buat dalam tulisan saya adalah yang terbaik ternyata saya salah besar, menulis deskripsi itu susah-susah gampang. Menjelang detik-detik terakhir kepulangan, kami meminta untuk berjalan-jalan di pabrik pengolahan kelapa sawit. Menelusuri pabrik tersebut dengan segala hiruk pikuk jeritan suara mesin tua dan uap panas yang dihasilkan menambah kesan bahwa beginilah gambaran buram para buruh yang dipekerjakan Belanda untuk mengolah hasil bumi Indonesia.


Jadi anak pabrik euy

Pagi itu, 30 Oktober 2010, 09.00 WIB, di stasiun Padang Halaban kami menanti kereta yang akan membawa kami dan ilmu kami bersama kembali ke Medan. Hati saya tertinggal di sela-sela pohon trembesi yang eksotif di siram mentari pagi Padang Halaban.

*Udah dimuat di Majalah Dinamika Edisi: 28*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar