Minggu, 16 Oktober 2011

Masih Pentingkah Kita Berbeda?

Tanda Tanya, sekilas seperti sebutan sebuah tanda baca, namun bukan tanda baca yang saya maksud, tapi merupakan judul film garapan Hanung Bramantyo yang mengusung tagline, masih pentingkah kita berbeda?. Film ini menjadi begitu kontroversial sejak pertama kali diputar di bioskop seluruh Indonesia pada 6 April 2011 lalu. Hanung mencoba menyampaikan pesan pluralisme agama (religious pluralism). Sebuah pesan yang fatwa pelarangannya sudah dikeluarkan MUI pada tahun 2005.

Bercerita dari awal, adegan pertama menyorot kehidupan Menuk (Revalina S.Temat), muslimah yang sehari-hari bekerja dan bergelut dengan aroma olahan daging babi  di restaurant masakan Cina tidak halal milik Keluarga Tan Kat Sun (Hengky Solaiman). Kemudian, kamera beralih kepada kehidupan Rika (Endhita) janda beranak satu yang bercerai gara-gara tidak ingin dipoligami dan bahkan melampiaskan kerumitan masalahnya dengan jalan berpindah ke agama lain. Adegan ini tergambar jelas dari dialog nada tinggi Rika kepada mantan suaminya ‘‘Saya pindah agama bukan karena saya mengkhianati Tuhan saya”. Berbagai bantahan di media, tokoh Rika cukup banyak menuai kritik dari para ulama, persoalan pindah agama begitu sederhananya digambarkan di film ini, seolah ingin mengampanyekan bahwa murtad itu bukan sesuatu dosa besar, sungguh ini sangat bertentangan dengan konsep ajaran Islam sesungguhnya.

Lalu ada cerita tentang Surya (Agus Kuncoro) seorang pria lajang, pengangguran, yang sepanjang 10 tahun karirnya di dunia film hanya menjadi seorang figuran semata, padahal obsesinya, ia ingin menjadi aktor utama. Suatu saat, Rika meminta bantuan pada Surya yang islam untuk memerankan tokoh utama menjadi Yesus dalam drama paskah dengan bayaran lumayan besar. Bagi Surya, tawaran ini adalah kesempatan besar. Di kehidupan lain, Soleh (Reza Rahardian), suami Menuk,mendapat kesempatan kerja menjadi banser NU. Tugas besarnya adalah menjadi petugas keamanan menjaga gereja tempat malam Jum’at Agung digelar. Ada juga isu ras yang coba diblow-up  Hanung yakni saat adegan Soleh cemburu buta dengan Pin Hen (Rio Dewanto), anaknya Tan Kat Sun yang dulu sebelum Menuk menikah sempat menjalin kasih dengan Menuk. Dalam adegan itu Soleh mencela Pin dengan ejekan kental akan persulutan perang suku ‘Dasar Cino!’. Potret kisah 3 keluarga dengan latar belakang yang berbeda inilah yang menjadi bumbu cerita yang diolah Hanung dalam karyanya yang diproduksi oleh Mahaka Picture (Kelompok Republika).

Kisah perihal toleransi memang masih menarik untuk diangkat dalam tayangan layar lebar, namun mestikah se-ekstrem yang digambarkan Hanung?.

Dalam sebuah dialog lintas agama, di Athena, Yunani 12 April lalu, Indonesia menuai banyak pujian dari para pemrasaran. Para pemrasaran dari Beograd dan Athena begitu terkagum-kagum akan kerukunan, persatuan, dan kesatuan Indonesia.

Negara lain hanya bisa melihat Indonesia dari jauh, namun lain cerita jika melihat Indonesia dari dekat. Agama bukan satu satunya isu yang turut menyumbang konflik di atas negeri ini, bahkan politik juga turut menabung konflik. Haryatmoko menulis lewat bukunya, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi (2010), masuknya kepentingan politik bukan suatu cara berpikir yang dipaksakan, tetapi merupakan kelanjutan atau perpanjangan dari cara berpikir yang telah ditanamkan oleh para guru agama dan pemuka agama. Intinya adalah bahwa konflik selama ini terjadi, bersebab sulitnya menerima perbedaan. Hal yang lebih esensial lagi adalah bagaimana seorang penganut suatu agama menerima dan menghormati agama lain sekaligus memegang teguh kebenaran agamanya sendiri. Itu baru toleransi bukan peleburan.

Lalu apa sebenarnya hakikat pluralisme atau keberagaman atau diversity? Berdasarkan artikel dalam situs hizbut.tahrir.or.id, Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Singkatnya, adalah nyata seperti yang digambarkan Hanung dalam filmnya, bahwa sebenarnya pluralisme agama mengajarkan orang untuk tidak teguh dalam mengimani keyakinannya. Tentu pemaknaan ini sudah lari dari makna toleransi yang diajarkan guru PPKN saya sejak di bangku SD dulu.

Berbicara konflik, agama tidak bisa dijadikan factor tunggal penyebab konflik berkepanjangan di negeri ini, seperti yang telah saya paparkan di atas. . Bahkan banyak konflik terjadi lebih sering berlatar belakang ideologi dan politik. Dalam sekala internasional, konflik Palestina-Israel lebih dari setengah abad, misalnya, jelas bukan konflik antaragama (Islam, Yahudi dan Kristen). Sebab, toh dalam rentang sejarah yang sangat panjang selama berabad-abad ketiga pemeluk agama ini pernah hidup berdampingan secara damai dalam naungan Khilafah Islam.

Dalam skala lokal, Negeri ini langganan konflik. Mulai dari konflik sederhana antar RT, konflik penuh konspirasi ala KPK, konflik yang merusak wajah bangsa ala pelaku pemboman, hingga konflik antar suku bangsa.

Karena itu, sangat tidak ‘nyambung’ jika untuk menghentikan konflik-konflik tersebut kemudian dipaparkan terus gagasan pluralisme dan ikutannya seperti dialog antaragama. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada dialog antar agama untuk menemukan titik persamaan. Semua agama mengajarkan ketuhanan, adalah tidak mungkin untuk berkesepakatan bahwa memiliki Tuhan yang sama. Ajaran tauhid dalam Islam disamakan dengan Kristen yang mengakui Yesus sebagai anak Tuhan ataupun disamakan dengan agama Yahudi yang mengklaim Uzair sebagai anak Tuhan. Kembali ke film Tanda Tanya, yang dalam salahsatu dialog tokoh Rika, agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.  Ia mengutip ungkapan sebuah buku,  “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Memang benar Negara telah menetapkan dan mengakui keberadaan 6 agama, namun tidak untuk menyamakan semua ajarannya (peleburan).


Menurut saya MUI sudah cukup bijak dalam mengeluarkan fatwa haram terhadap paham pluralisme, karena paham tersebut mencampuradukan agama, sehingga membahayakan keyakinan umat beragama (islam). Fatwa MUI No. 7/Munas VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama menuliskan pada ketentuan hukum: Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk lain. Kemudian dalam ketentuan umum, MUI menjelaskan bahwa Islam hanya mengakui pluralitas, bukan pluralisme.

Adapun kekerasan dan kerusuhan di negeri kita kebanyakan terjadi karena kita terlalu mudah dibodohi. Kita mudah ditunggangi dan cepat sekali termakan hasutan. Kebodohanlah ancaman terbesar pluralisme serta persatuan dan kesatuan Indonesia.

Masih pentingkah kita berbeda? Maka saya menjawab tagline film ‘?’ dengan jawaban ‘masih’, hanya saja tergantung pribadi masing-masing untuk menyikapi perbedaan dengan lebih bijak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar