Kamis, 08 November 2012

Antara Kesepian Sekuler dan Kebersamaan Islam

Dec 21, '10 4:28 AM
untuk semuanya

assalaamu’alaikum wr. wb.

Dalam sebuah majalah yang khusus membahas masalah-masalah sastra, penyair kawakan Taufik Ismail pernah menjelaskan standar yang digunakannya untuk menilai suatu karya sastra itu mengandung unsur-unsur porno atau tidak.  Cara sederhana yang diajukannya adalah dengan mengganti nama-nama tokoh perempuan dalam karya tersebut (karena biasanya yang porno-porno selalu berkaitan dengan tokoh perempuan) dengan nama ibu kita, kakak/adik perempuan kita, bibi kita, istri kita, atau anak perempuan kita.  Jika kita merasa risih atau jijik dengan cerita yang dihasilkan, berarti karya itu memang porno.

Taufik Ismail bukan sekedar penyair yang gemar bermain kata-kata.  Sebagai seorang Muslim, kepenyairannya tak pernah bisa dipisahkan dari identitasnya sebagai seorang Muslim.  Karena cara berpikirnya telah terwarnai (ter-shibghah) dengan ajaran Islam, maka responnya terhadap masalah pun sejalan dengan pandangan Islam.

Apa yang dikatakan oleh Taufik Ismail nyaris sama persis dengan pendekatan masalah yang digunakan oleh Rasulullah saw. ketika seseorang datang menghampirinya untuk meminta izin berzina.  Permohonan izin itu disampaikannya terang-terangan, sehingga orang-orang di sekitarnya pun mendengar.  Mereka yang mendengar berusaha mencegahnya mendekati Rasulullah saw., namun beliau justru menyuruhnya untuk mendekat.  Setelah itu, Rasulullah saw. membimbingnya untuk memikirkan keinginannya sekali lagi.  Bagaimana jika ada orang lain yang berzina dengan ibunya?  Bagaimana jika ada orang yang berzina dengan bibinya?  Bagaimana jika putrinya diajak berzina oleh orang lain?  Jika kita tak suka ada orang yang berzina dengan ibu, bibi atau putri kita, maka kita pun tak boleh berzina, sebab yang kita ajak berzina pastilah ibu, bibi atau putri orang lain.  Argumen ini begitu sederhana, begitu mudah dicerna akal.

Seringkali perbuatan keji dianggap biasa hanya karena kita melihatnya dari kaca mata ‘pelaku’.  Sebagai pelaku, kita hanya merasakan kenikmatan sesaat dari perbuatan keji yang kita lakukan.  Adapun konsekuensi jangka panjangnya, apalagi dosa yang baru ketahuan akibatnya di akhirat nanti, biasanya akan dianggap remeh.

Masalahnya akan lain jika kita menggunakan kaca mata ‘pengamat’, apalagi kaca mata ‘korban’.  Mengakses situs-situs porno mungkin terasa menyenangkan, namun jika kita melihat para pelajar dan mahasiswa mengaksesnya di warnet-warnet, akan terasa betul betapa keji dan menjijikkannya perbuatan tersebut.  Banyak orang senang melihat supermodel yang membuka auratnya lebar-lebar, tapi kita tidak tahu persis bagaimana reaksinya jika putrinya sendiri menjadi supermodel yang berbuat demikian.  Ada perempuan yang jadi istri simpanan, dan akhirnya bisa menyingkirkan istri tua dari suaminya, lalu kemudian ia pun disingkirkan oleh perempuan yang lain lagi.  Apa anehnya?  Lelaki yang mengkhianatinya kini adalah lelaki yang sama yang pernah mengkhianati perempuan lain.  Hanya saja, ia lalai mengganti ‘kacamatanya’ sebelum bertindak jauh, sehingga pada akhirnya ia terpaksa merasakan perspektif ‘korban’ secara nyata.

Inilah sisi sekuler yang jarang dipikirkan orang.  Sekularisme menghendaki dipisahkannya agama dari kehidupan sosial manusia.  Akibatnya, tidak ada aturan yang mengikat interaksi sosial kita.  Karena awalnya tidak ada aturan, maka aturan pun diada-adakan dengan melakukan penyesuaian dari masa ke masa, karena ia adalah sebuah produk dari akal manusia yang kapasitasnya terbatas.  Hasilnya adalah relativitas nilai.  Apa yang dianggap hina dulu bisa dianggap heroik di jaman sekarang, demikian juga hal-hal yang dianggap mulia sekarang mungkin akan dianggap sebagai sebuah kecelakaan sejarah di masa mendatang.

Manusia sekuler hidup dengan memisahkan dirinya dari yang lainnya, baik manusia lain yang hidup di sekitarnya maupun manusia lain yang pernah hidup dalam sejarah.  Mereka memandang segala sesuatunya secara parsial.  Sebaliknya, Islam selalu menggunakan cara berpikir yang komprehensif, menggunakan segala sudut pandang yang mungkin digunakan.  Itulah sebabnya, menurut ajaran Islam, manusia dibedakan derajatnya berdasarkan tingkat ketaqwaannya, sedangkan ketaqwaan itu diwujudkan dalam ketelitian dan kehati-hatian dalam segala sesuatunya.  Orang yang bertaqwa bukan yang tidak pernah salah atau khilaf (bahkan tak ada seorang pun manusia yang seperti itu), namun ia pastilah orang yang sangat memperhatikan detil dari segala tindak-tanduknya.  Teliti dan komprehensif dalam segala tindakan ini berasal dari sikap ihsan, yaitu senantiasa merasa berada di bawah pengawasan Allah Yang Maha Melihat, Maha Mendengar dan Maha Adil.

Sekularisme adalah ideologi kesepian, di mana setiap manusia hidup untuk dirinya sendiri dan tak bisa mengharapkan pertolongan dari orang lain.  Seorang ibu tak bisa melindungi anak-anaknya dari pornografi lantaran pemerintahnya memutuskan untuk menjadi sekuler.  Mereka tahu bahaya minuman keras dan prostitusi, tapi sekularisme mengharuskan mereka untuk hidup ‘rukun’ bersamanya.

Adapun Islam, ia adalah ajaran yang selalu mementingkan kebersamaan.  Apa yang kita lakukan akan berdampak pada orang lain, demikian juga apa yang orang lain lakukan pastilah berdampak pada kita.  Islam tidak hanya melarang zina, tapi juga melarang mendekati zina, bahkan juga melarang orang untuk berdiam diri ketika menyaksikan perzinaan terjadi di lingkungannya.  Mencegah perzinaan dan menghukum orang yang berzina bukanlah kepentingan pribadi per individu, karena yang dirugikan adalah seluruh elemen masyarakat.  Segala bentuk kemaksiatan senantiasa bersifat menular dan tumbuh perlahan bagaikan virus.  Islam menyuruh manusia untuk membasmi virus-virus maksiat, sedangkan sekularisme hanya memberi perhatian pada mereka yang sudah hampir sekarat akibat virus-virus tersebut; itu pun hanya memberi perhatian, bukan menyembuhkannya!

Begitu seorang bayi lahir ke dunia, Islam mengakuinya lebih cepat daripada orang tuanya sendiri.  Sementara akta kelahiran – yang menunjukkan kewarganegaraan yang sah dari bayi tersebut – belum lagi dibuat, Islam sudah mengakuinya sebagai bagian dari umat yang satu.  Setiap Muslim adalah saudara dari Muslim lainnya.  Setiap Muslim adalah ayah, saudara laki-laki, dan anak lelakinya, sedangkan setiap Muslimah adalah ibu, saudara perempuan, dan anak perempuannya.  Jika ada nenek renta yang ditinggal sendiri di rumahnya, masyarakat Muslim tak melempar tanggung jawab untuk merawatnya.  Janganlah heran, dahulu pernah terjadi pengepungan terhadap warga Yahudi Madinah demi kehormatan seorang Muslimah.  Ketika itu, sekelompok pemuda Yahudi menyingkap pakaian sang Muslimah sehingga terlihat auratnya.  Seorang pemuda Muslim yang ada di sekitar situ langsung membunuh pemuda Yahudi yang melakukan pelecehan tersebut, dan kemudian ia pun dikeroyok hingga terbunuh juga.  Keadaan darurat segera dikumandangkan, dan kabilah Yahudi tersebut dikepung.  Pelecehan terhadap Muslimah yang tidak dikenal sebelumnya sama dengan pelecehan terhadap saudara kandung kita sendiri.

Islam tidak mengijinkan setiap orang berpikir sekuler; mereka tak boleh memisahkan dirinya dari yang lain.  Mereka harus menyadari bahwa hidupnya hanya untuk Allah, dan Allah menghendaki hamba-hamba-Nya untuk saling mengenal, saling memahami dan saling menanggung beban satu sama lainnya.  Itulah sebabnya keimanan seseorang tak bisa disebut sempurna jika ia belum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.  Tidak perlu heran jika ada mujahid yang sedang sekarat justru ingin mengoper minumannya kepada saudaranya yang juga sedang sekarat.  Saudaranya pun ingin mengoper lagi minumannya, hingga ketiga mujahid itu akhirnya menghembuskan napas terakhir sebelum sempat meneguk air.

Sekularisme menghendaki jiwa yang kerdil, kehidupan yang sempit dan kesepian yang tak ada ujungnya, sedangkan Islam mengajarkan manusia untuk berjiwa besar, memiliki kehidupan yang luas dan kebersamaan yang hanya dibatasi oleh umurnya di dunia.  Maka berhentilah berpikir sekuler dan tinggalkanlah cara berpikir yang parsial dan individual, agar Anda tidak kesepian di dunia, dan lebih kesepian lagi di akhirat.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

copas dari Blog Malami Bookstore


Tidak ada komentar:

Posting Komentar