Rabu, 18 Januari 2012

Bukan Kisah Klasik Masa Lalu






Impian harus menyala dengan apapun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak
-9 Summers 10 Autumns, a novel-

Beberapa tahun terakhir rak toko buku di seluruh Indonesia diramaikan oleh buku fiksi berbalut kisah masa lalu yang berbuah manis di masa depan. Sebut saja Tetralogi Laskar Pelangi, Trilogi Negeri 5 Menara, dan 9 Summers 10 Autumns  serta masih banyak novel lain yang menginspirasi. Setidaknya untuk saat ini cerita masa lalu terbukti sukses diceritakan dan dibukukan.
Kenangan, masa lalu adalah jejak yang berlengan, selalu akan menarik ke belakang bila tidak berani melepaskan. Berbeda dengan seorang Iwan Setyawan, ia justru membiarkan lengan masa lalunya menarik ke belakang sebagaimana yang ia kisahkan di novel ber-coverkan dua buah apel, dari Malang (terkenal dengan Apel Malang-nya) hingga ke New York (The Big Apple—sebutan untuk kota New York).
Kisah dalam novel dibuka dengan adegan seorang anak kecil, usia sekolah dasar menyaksikan peristiwa perampokan yang dilakukan dua remaja terhadap pria berperawakan kecil yang terjadi pinggiran kota New York. Lalu kisah berlanjut dengan perkenalan anak kecil tersebut dengan pria korban perampokan. Pembaca bahkan diajak menelusuri cerita seperti menarik ulur mesin waktu, sebentar di masa sekarang, sebentar diajak masuk ke pusaran waktu menuju masa lalu. Begitulah Iwan meramu kisahnya serupa semi autobiografi dirinya sendiri.
‘Saya hanya tidak ingin menjadi supir angkot, seperti Bapak saya’, dalam sebuah seminar pendidikan berkarakter (02/11), Iwan mengaku kepada peserta, itulah salahsatu alasan kenapa ia mampu membawa perahu layarnya hingga ke New York dan menjadi Director, Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York. Iwan sekali lagi meyakini bahwa satu-satunya cara keluar dari keterbatasan ekonomi adalah bersekolah serajin-rajinnya.
Menjadi anak laki-laki satu-satunya dari 5 bersaudara jadi beban tersendiri bagi Iwan, belum lagi ketakutan yang amat sangat jika hidupnya kelak berakhir sama seperti Bapaknya yang sopir angkot. Mengingat lingkaran kemiskinan sudah seperti lingkaran setan, jika Bapak seorang sopir angkot mungkin anaknya juga akan menjadi sopir angkot, dalam hal ini pepatah buah jatuh dari pohonnya menguatkan ketakutan Iwan kecil sehingga mati-matian ia belajar dan menuntaskan pendidikan meski sesekali tertatih. Sederhana. Sesungguhnya ia tidak berjuang sendiri, dalam kesulitan apapun, semiskin apapun, tetap kekuatan dan kehangatan cinta mampu menguatkan setiap anggota keluarga dalam membangun masa depan bersama yang lebih baik.
Novel ini diceritakan berdasarkan kisah nyata penulisnya, ditulis dengan alur maju mundur, dinarasikan dengan gaya melankolis, membawa pembaca hanyut ke dalam kisahnya, siap-siap terkejut pada halaman terakhir dimana Iwan mengungkapkan satu point yang telah ia lewati, dan di titik itulah ia menjadi unstoppable man menuju bagian teratas dari hidupnya. Lalu siapakah bocah kecil yang selalu menemani Iwan dalam novel ini?
Seperti pendahulunya yang sudah-sudah setiap novel yang kaya akan pelajaran dan pengalaman hidup pasti bertabur endorsement dari para penulis terkenal, praktisi pendidikan, hingga politikus sekaliber Anas Urbaningrum, Menggugah. Satu kata untuk novel ini. Iwan, lanjut Anas dalam endorsmenent-nya, berhasil membahasakan dengan ringan dan renyah bahwa pendidikan dan determinasi hidup adalah sahabat sejati perbaikan nasib manusia.
Selain itu Iwan dalam penulisan novelnya ramai akan petikan dialog berbahasa Inggris, mungkin buat pembaca yang menekuni atau suka dengan bahasa Inggris, membaca novel ini bisa sekalian melatih dan mengkoleksi perbendaharaan bahasa Inggris Anda. A must read novel, pas banget dibaca saat musim liburan seperti ini. Selamat menggali kekayaan jiwa dalam tiap lembaran kisahnya. Selamat Membaca!
#Tulisan bisa di klik di Harian Medan Bisnis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar