Jumat, 13 November 2009

Mengenang Luka Aceh dalam Kumpulan Cerpen



Judul : Rumah Matahari
Penulis : FLP Aceh
Cetakan : Pertama, Mei 2009
Tebal : 134 halaman

Teks sastra tulis Tjahjono Widijanto seorang penyair dan esais asli Ngawi dalam artikelnya yang berjudul Luka Dalam Sastra Indonesia dan Korea, bukan saja merupakan dokumen keindahan bahasa semata, melainkan juga dokumen sejarah yang didalamnya penuh luka sebuah bangsa. Dalam soal luka ini, tulis Tjahjono lagi bahwa peristiwa dalam sejarah “resmi”, oleh sastra tak dianggap sebagai “realitas tunggal” yang benar dan valid, sastra mengolahnya sebagai satu hal yang harus dipertanyakan lagi.
Begitupun dengan kumpulan cerpen dalam antologi ini, seolah-olah dengan menceritakan kembali slide demi slide, sketsa demi sketsa segala jejak sejarah yang pernah terekam khususnya jejak sejarah yang di negeri penuh percikan darah, Nangroe Aceh Darussalam ini akan menimbulkan dua keadaan, jika sejarah yang diukir itu indah tentu saja menimbulkan kenangan indah saat membacanya kembali, namun jika yang terekam adalah sejarah yang menyakitkan, saat membacanya sama seperti membuka luka lama yang ntah sembuh ntah jua tak kan pernah sembuh.
Antologi yang terangkum dalam 14 cerpen yang ditulis oleh anak-anak mudanya Aceh yang tergabung dalam sebuah komunitas kepenulisan bernama Forum Lingkar Pena Aceh, mencoba menyuguhkan sejarah ke dalam hidangan cerpen yang rasanya komplit saat membacanya.
Seperti cerpen yang satu ini, peristiwa tsunami yang sempat memporak porandakan Aceh beberapa tahun silam, di tangan seorang Alfi Rahman, tsunami yang terekam dalam cerpennya dipesonifikasikan sebagai pembunuh, hal ini tertulis dalam cerpennya berjudul “Pembunuh Berinisial T”. Dengan gaya suspensifnya Alfi menguatkan bahwa peristiwa tersebut begitu dahsyatnya menimpa bumi Serambi Mekkah dan meninggalkan jejak kenangan yang sulit sekali dihapus dengan penghapus ingatan apapun.
Cerdasnya lagi, dalam cerpennya Alfi mempu mengaitkan inisial “T” dengan berbagai hal yang berbau trauma. Tak tertebak oleh saya sama sekali bahwa “T” yang dimaksud bukannya hanya Tsunami, tapi juga menghubungkannya dengan peristiwa sejarah lainnya.
“Tidak!” Aku berteriak, mencoba memberi keyakinan dalam angan dan rasio terhadap sabda yang berulang-ulang menitip pesan.Mungkinkah “T” adalah keangkuhan pemilik kebersahajaan sang “Teuku”? Atau “T” adalah lengkah-langkah gagah yang menghentak bumi pemilik sepatu laras yang bernama “Tentara” Atau “T”adalah wujud ketidakberdayaan geraham hokum negeri berjuta luka dalam rangkuman yang “Tak Dikenal”. (hal.16)
Safrida Askariyah begitulah judul cerpen yang ditulis oleh Alimuddin penulis muda yang cukup malam melintang di dunia kepenulisan , ini cerpen yang paling saya suka dalam antologi ini, cerpen ini berhasil mengaduk-aduk emosi saya sebagai seorang wanita, pasalnnya peristiwa yang menimpa tokoh dalam cerpennya begitu miris. Ada sisi lain dari trauma pasca konflik di suatu daerah yang tidak selesai seketika di atas selembar perjanjian perdamaian, tidak sesederhana itu. Wajar jika kemudian Alimuddin membuat tokoh Safrida, mantan pasukan Inong Balee yang pernah terenggut paksa kehormatannya, bahkan tak percaya pada retorika perdamaian itu. Apa dengan perjanjian damai itu kehormatannya kembali? Inilah potret sejarah yang diawetkan dalam bingkai cerpen, tergambar kula derita di sekujur tubuh di sepanjang hayat.
Pada cerpen “Peluru Bertuliskan Nama Azzam”, saya sudah membaca cerpen ini sebelumnya di majalah Annida, membaca cerpen ini untuk kedua kalinya tetap berkesan. Arif Hening Surya mencoba menghadirkan “peluru” sebagai tokoh utama. Dialog antar peluru yang sama-sama bertuliskan nama Azzam tersebut menyentak hakikat kemanusiaan para pelaku kekerasan yang tidak memiliki nurani. Belajarlahh dari peluru-peluru yang hidup dalam cerpen ini, setelah itu bandingkan mana yang lebih punya nurani, peluru atau manusia?. Sama seperti Arif yang bernama pena Adi Zam Zam seorang Rinal gaya cerpennya juga bermain-main dengan memanusiakan benda mati sebagai tokoh utamanya hanya saja Rinal labih berani dan ekspresif dalam mengeksplorasi idenya. Cerpen yang berjudul “Seulanga yang Tercabik” menceritakan unsur-unsur pembangun peradaban bangsa Aceh sebagai tokoh-tokoh utamanya, tersebutlah Aceh yang ditokohkan sebagai Mak yang sudah tua renta dan bijaksana dalam memahami apa yang terjadi pada dirinya sebagai sejarah. Dia risau pada masa depan kemanusiaan anak-anaknya yang kian tercabik yakni Tanoh, Reusam, dan Hukom.
Namun, uapaya Mak Aceh menyelamatkan anak-anaknya dihalangi oleh seorang tokoh antagonis bernama Maheut yang berbati hawa nafsu. Benar-benar apik sekali mengemas dan menuliskan luka serta menghangatkan kembali ingatan kita akan polemic yang terjadi di negeri rencong ini. Setali tiga uang dengan cerpen Seulanga yang Tercabik, dalam cerpen “Dosa Yang Tak Terlihat”, Ade Oktaviyani nama lengkap penulisnya dengan cukup piawai mendeskripsikan Hasyim dengan dilemma rasa bersalahnya seumur hidup karena menyaksikan dalam diam pembantaian teman karibnya, Ramli, hingga tak sanggup menanggung beban dan akhirnya membuat Hasyim menjadi buta karena menyimpan fakat itu seorang diri. Berapa banyak tokoh Hasyim dikehidupan nyata yang mungkin jjuga turut menjadi saksi bisu atas pembantaian orang-orang terkasih oleh penjahat perang.
Luka sejarah bangsa yang seperti apa lagi yang coba diungkapkan oleh para anak-anak muda Aceh tentang tanah kelahirannya?, berikut Ferhat dalam cerpennya “Lakon Mak dan Ayah dan Nuril Annisa dengan “Nyak Loet”-nya, yang berkisah dalam cerpen mereka menggunakan sudut pandang kepolosan anak-anak. Mengambil ide cerita dengan tokoh utamanya adalah anak-anak dalam kedua cerpen ini cukup mengekspresikan bahwa setiap daerah konflik, tak sedikit anak-anak yang menjadi korban secara fisik dan batin, dan lagi-lagi luka sedang tercipta di sini.
Aceh sebagai Serambi Mekahnya Indonesia sangat kental dengan atmosfer relijius keislamannya. Arafat Nur—sastrawan dan jurnalis asal Lhokseumawe—dalam cerpen “Gampong” yang berarti kampung, dia menggambarkan kehidupan gampong yang tidak lagi elijius. Agama hanya sekedar symbol, bukan substansi. Demikian pula yang diungkapkan Yani dalam “Wali Nikah” tentang desakralisasi lembaga pernikahan dan maraknya praktek perzinahan yang ditutup-tutupi.
Beranjak pada cerpen lainnya, kita diajak untuk berpetualang pada ranah sejarah dan budaya Aceh yang penuh intrik dan polemic. Masih ada Meulod (Ubaidillah), Rumah Matahari ( Himmah Tirmikoara), Cahaya Hijau (Abdul Razak MH. Pulo), Blas! (F.Hacky Irawani), serta Negeri Ganjil ( Riza Rahmi).
Semuanya menyajikan suguhan yang bukan sekedar hiburan, tapi juga bertabur hikmah. Dan masih melanjutkan apa yang ditulis Tjahjono dalm artikelnya bahwa dalam konteks ini, teks sastra hadir sebagai uapay manusia (atau sebuah bangsa) kembali pada nilai dasar dan universal kemanusiaanya. Sastrawan hadir, tentu bukan sebagai sejarawan, ia memiliki cara dan kemampuan tersendiri dalam menampilkan sejarah “mental” sebuah bangsa. Dari situ mungkin, pelajaran terpenting dari sejarah bias kita dapatkan.
Oleh karenanya, tak ada salahnya buku ini menjadi koleksi antologi cerpen Anda berikutnya untuk meyegarkan ingatak dan wawasan histories tetnang Aceh dan menjadi orang pertama yang tahu apa yang selama ini belum tersingkap setelah membaca cerpen berbalut sejarah dalam antologi ini.