Jumat, 25 Juli 2008

PUISI : MELEMBUTKAN JIWA ANAK

PUISI: MELEMBUTKAN JIWA ANAK
Oleh: Nurul Fauziah
Dan untuk puisi
Kami memiliki ramuan ajaib
Racikan yang kami dapat
Dari negeri bidadari dan kampong kurcaci
Kami beritahu padamu: Obelix dan Asterix pun
Mengincarnya sejak lama.
Potongan puisi yang berjudul “Klarifikasi Kurcaci” di atas adalah karya Abdurrahman Faiz, seorang anak berusia 11 tahun yang sudah piawai menulis puisi sejak usianya 8 tahun dan sudah menerbitkan 2 buku antologi puisi, dengan judul buku keduanya yang terbaru adalah Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil terbitan Forum Lingkar Pena Publishing.
Tidak banya anak Indonesia zaman sekarang yang mampu mengekspresikan perasaannya salah satunya dalam bentuk puisi. Hal itu mungkin dikarenakan kurangnya minat anak dalam mempelajari pelajaran sastra, terkesan membosankan atau karena lebih asyik bermain games online dan bermain playstation serta menonton televisi.
Puisi atau sastra secara umum, adalah instrument yang membhasakan kelembutan jiwa seseorang. Puisi juga membuat seseorang lebih dekat dengan perasaan, perasaan mereka sendiri, membantu mereka memahami hal yang tersirat dari alam, dan menagkap makna-makna kemanusiaan yang paling dalam yang senantiasa terlahir dari nurani manusia. Bagi seseorang, puisi juga merupakan hiburan jiwa.
Itu sebabnya Umar bin Khattab menganjurkan pengajaran sastra untuk anak-anak. Karena sastra kata Umar, dapa mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani. Rasulullah SAW sendiri menyukai puisi dan menghapal beberapa bait puisi Arab kuno serta mengenal para penyairnya. Dikalangan sahabat juga terdapat banyak penyair. Para pahlwan perang, di zaman Rasulullah dan sesudahnya, selalu menggunakan puisi sebagai cara untuk membangkitkan semangat perang kaum muslimin. Karena itu dalam tradisi sastra Arab ada beberapa penyair yang mempunyai spesialisasi dalam bidanng “Syi’rul Hamasah” (Puisi Semangat).
Di Afganistan sendiri, anak-anak diajarkan berpuisi—dikenal dengan istilah Sherngaji (Adu Puisi). Juga di beberapa belahan dunia lain yang menjadikan puisi salah satu kebudayaan dan menjadi mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar seperti di Korea, Cina, Jepang dan Amerika.

Jumat, 04 Juli 2008

BUDAYA PELECEHAN KATA PADA ANAK

Saya dan Game on-line
Tidak jauh dari rumah saya berdiri sebuah bangunan rumah yang membuka jasainternet dan menawarkan games on-line, browsing internet, rental computer dan lain-lain. Tentunya saat ini jasa yang paling difavoritkan dari warnet adalah games on-line dan kebnyakan penggunannya adalah anak-anak. Di sini saya tidak akan membahas dampak positif dan negative games on-line pada anak secara detail, hanya saja saya membahasnya dari segi moral dan akhlak anak-anak yang sedang main games on-line tersebut.

Saat saya sedang browsing internet di warnet tersebut, telinga saya suka risih dengan sahutan yang dikeluarkan anak-anak yang bermain game di sebelah kiri, kanan dan belakang saya (bentuk tata letak komputernya letter U). Ynag membuat saya risihdari sahutan mereka saat memanggil teman mereka adalah penyebutan nama bintang semisal (maaf) anjing, dan pelecehan kata lainnya yang mungkin kerapkali kita dengar.

Awalnya saya tidak tahu, kenapa anak yang di sebelah saya, menyahut temannya yang juga bermain game diseberang tempat saya duduk. Ternyata game yang mereka mainkan sama. Kalua istilah saya ‘main dua’, game yang mereka mainkan adalah game perang-perangan. Jadi ceritanya, mereka dalam game itu seolah-olah jadi tentara yang menembaki musuh-musuhnya dan singkat cerita salah satu teman mainnya tertembak musuh dan teman mainnya yang satu lagi tidak tertembak. Temannya yang tertembak musuh menyahut, “Hey (maaf) Anjing, kok gak kau tembak musuhnya?, jadi mati aku kan?. Waduh, kuping saya panas mendengarkannya. Untuk mengekspresikan rasa tidak suka saya terhadap perkataan si anak disebelah saya itu, saya langsung meloto ke ara anak itu dan berkata “Yang sopanlah dek ngomongnya”, lalu jawabnya “Oya kak, maaf ya kak”.

Pendidikan Orang Tua Di Rumah: Salah satu Penyebabnya.
Mungkin masih banyak contoh nyata lainnya di sekitar kita. Mungkin di rumah misalnya, orang tua juga suka menyahut dan memanggil anaknya dengan menggunakan pelecehan kata-kata sehingga anak pun belajar dari orang tua untuk mengatakan hal yang sama pada teman-temanya, saudaranya dan bahkan orang tuanya sendiri. Selain itu lingkungan tempat anak tinggal, teman sepermainan anak, atau juuga teman sekolah si anak. Pada saat orang tua tidak bersama si anak untuk mendampingi, maka anak dapat belajar hal apapun di luar sana.

Bahkan tanpa kita sadari, kita juga sering mendengarkan, baik itu kita mendengarkannya di televisi yang menayangkan sinetron-sinetron dengan dialog para pemainya juga mendengarkannya di film-film yang diputar di bioskop dan menggunakan kata-kata yang melecehkan, kata-kata yang tidak sopan untuk diucapkan, seperti, Bodoh, Tolol, mampus dan lain-lain.

Dan jika hal ini terus dilakukan, terus diperdengarkan pada anak akan berdampak buruk terhadap kejiwaan anak.

Menurut Dr. Dorothy Law Notte yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dalam “Psikologi Komunikasi”-nya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar manghargai
Jika anak dibesarkan dengan dorongan ia belajar percaya diri

Jadi, jangan salahkan anak Anda yang tidak tahu apa-apa, ia hanya merekam dan mengaplikasikannya apa yang dia lihat, dia dengar dan dia rasakandari perilaku orang tuanya sehari-hariyang lebih suka mendiidk dengan teriakan, dengan memanggil anak dengan sebutan yang tidak baik akan berbalik memaki dan manghina Anda suatu hari dan itu berarti Anda tururt menghancurkan moral dan akhlak anak Anda dengan pelecehan kata-kata yang Anda ucapkan pada anak Anda.

Bagaimana Jika Anak terlanjur berkata-kata negative?
Pertanyaan ini akan terjawab bila Anda sebagai orang tua yang sebelumnya mendidik anak dengan menggunakan teriakan pada anak yang tidak mematuhi Anda, dan mengucapkan kata-kata negative terhadap anak yang adalah suatu hal yang mungkin bahwa kata-kata negative yang Anda tujukan pada anak Anda sendiri adalah mengandung doa buat anak Anda alias mendoakan anak Anda sesuai seperti yang Anda ucapkan pada anak Anda, adalah menyadari efek negative kepada jiwa anak sampai dia beranjak dewasa jika ucapan-ucapan negate Anda pada anak tidak dihentikan. Tapi, bila Anda bukan tipe orangtua yang seperti itu, namun anak Anda mengucapkan kata-kata negative saat dia emosi, berarti anak Anda yang perlu dididik, diajarkan dan diarahkan untuk idak mengucapkan kata-kata negative itu lagi.

Terkadang orang tua terlalu keras dalam mendidik anak. Dalam kasus mengatasi anak yang suka berkata negative, orang tua suka mengancam dengan akan memasukkan cabe rawit ke dalam mulut anak Anda dan ada juga orang tua yang rinagntangan dengan melayangkan tanan Anda dan mendarat keras di mulut anak supaya anak jera. Tapi hal itu, tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka panjang, tapi hanya menyelesaikan masalah pada saat itu jga, artinya bahwa anak Anda memang tidak mengucapkan kata negative di depan Anda atau di dekat telinga Anda tapi, anak akan mengucapkanya di luar pengawasan Anda dan tentu solusi-solusi seperti memasukkan caber rawit ke mulut anak atau memukul dan menampar, adalah tidak mendidik tapi menyakitkan buat anak dan tidak membuat efek jera jangka panjang, bahkan komunikasi antara Anda dan anak akan rusak, anak seolah-olah merasa orang tua telah menciptakan jarak yang sangat jauh antara anak dan orangtua karena tindakan Anda yang seperti itu.

Menurut buku yang berjudul “Disiplin Tanpa Teriakan dan Pukulan” yang ditulis oleh Jerry Wyckoff, Ph.D dan Barbara C. Unell.

Yang harus dilakukan saat anak Anda membantah atau mengucap kata-kata negative:

Suruh anak Anda mengucapkan kata-kata itu secara berulang-ulang hingga lelah.
Suruh ia mengulang-ulang perkataan salah itu selama 3 menit (jika usia si anak 3 tahun) untuk tiap-tiap tahun usia. Katakan: “Ibu prihatin kamu mnegucapkan kata-kata itu. Ibu akan menyetela pengatur waktu. Kamu harus mengucapkan kata-kat itu sampai pengatur waktu berbunyi, setelah pengatur waktu berbunyi, kamu boleh berhenti mengucapkannya”. Hal ini akan membuat efek jera pada anak bahwa apayang diucapkannya berulang-ulang benar-benar tidak enak diucapkan, tidak enak didengar, sehingga anak enggan mengucapkannya lagi.
Pujilah perkataannya yang baik. Pujian adalah hal yang disukai anak-anak. Dengan memuji perkataannya yang baik, ia belajar bahwa dengan berkata baik lebih disukai, lebih sopan dan lebih enak didengar.

Penulis adalah seorang guru mengaji di sebuah majlis ta’lim, biasanya kiat penulis untuk mengatasai anak untuk tidak berkata negative yakni Jika anak kedapatan oleh telinga saya telah berkata negative, saya akan menyuruhnya berdiri dan beristigfar 15 kali dengan suara keras dan terdengar oleh saya, dengan begitu anak belajar memohon ampun pada Allah karena telah khilaf berkata negative kepada temannya, begitu setiap kali anak murid saya kedapatan berkata negative atau juga solusi lain yang saya dapat dari dosen saya saat mendidik anaknya yang berkata negative yakni dengan menyuruh si anak memukul mulutnya sendiri dengan begitu si anak belajar menghukum diri sendiri tanpa harus orangtua yang memukul mulut si anak yang terkadang menyakiti si anak.

Memang universitas yang membuka jurusan Parenting atau jurusan Menjadi orangtua yang baik, tidak ada, tapi bukan berarti kita sebagai orang tua menutup diri untuk terus belajar untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Sekarang ada banyak media yang membahas tentang parenting, seminar parenting, konsultasi dengan psikolog anak dan lain sebagainya. Anak kita hidup di zaman yang berbeda dengan zaman waktu para orangtua menjadi anak-anak dan satu hal lagi anak kita bukan duplikat kita saat menjadi anak-anak, anak kita adalah anak-anak, untuk itu pola pendidikan pun juga sedikit banaykanya memiliki perbedaan denga pola pendidikan orangtua zaman dulu.